Tuli
kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan
bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah makin bertambah bila tidak dilakukan
deteksi dan intervensi secara dini.
Di
negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup,
sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh Dep. Kes di 7
Provinsi pada tahun 1994-1996 yaitu sebesar 0,1 %. Tuli kongenital di Indonesia
diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000
juta (Profil Kesehatan 2005). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya
pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. Hal ini
tentu saja berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan
di masa mendatang.
WHO
memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara.
Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli kongenital sebagai
salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu
saja memerlukan kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain
tenaga kesehatan. Apakah yang dimaksud dengan tuli kongenital? Tuli kongenital
merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.
Ketulian
ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf).
Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat
dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat dengar,
sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian
terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan
bunyi ( amplifikasi ).
Tuli
kongenital dibagi menjadi genetik herediter (ada faktor keturunan) dan non
genetik. Untuk mencegah terjadinya tuli herediter sebaiknya hindarilah
perkawinan antar keluarga / sedarah. Tuli kongenital dapat terjadi pada :
Masa
kehamilan (PRENATAL)
Kehamilan
trimester I merupakan periode penting karena infeksi bakteri maupun virus akan mempunyai
akibat terjadinya ketulian. Infeksi yang sering mempengaruhi pendengaran antara
lain adalah infeksi TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan
Sifilis), selain campak dan parotitis (gondong).
Beberapa
jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina, gentamisin,
streptomycin dll. mempunyai potensi menyebabkan terjadinya gangguan proses
pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput (koklea). Gangguan struktur
anatomi telinga juga dapat menyebabkan terjadinya ketulian antara lain aplasia
koklea (rumah siput tidak terbentuk) dan atresia liang telinga.
Saat
lahir ( PERINATAL )
Penyebab
ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat badan lahir rendah
(< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstraksi vakum,
forcep), hiperbilirubinemia (bayi kuning), asfiksia (lahir tidak langsung
menangis), dan hipoksia otak (nilai Apgar < 5 pada 5 menit pertama.)
Menurut
American Academy Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994) pada
bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor berikut ini harus dicurigai,
karena merupakan kemungkinan penyebab gangguan pendengaran:
- Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir
- Infeksi prenatal; TORSCH
- Kelainan anatomi pada kepala dan leher
- Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
- Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram )
- Meningitis bakterialis
- Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar
- Asfiksia berat
- Pemberian obat ototoksik
- Menggunakan alat bantu pernapasan/ ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU)
Ketulian
yang terjadi biasanya merupakan tuli saraf ( sensorineural) derajat berat
sampai sangat berat pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal sulit diketahui
karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru menyadari adanya
gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara keras atau
belum/terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua sangat
bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara dl lingkungan rumah,
kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata.
Perkembangan
auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain :
- Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat refleks
- Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks auropalpebral maupun refleks Moro.
- Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat ke arah sumber suara.
- Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.
- Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk mencari sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat.
- Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu memperkirakan sumber suara.
Perkembangan
bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar pada bayi, sehingga
adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai apabila :
- Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi
- Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti
- Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
- Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata
Untuk
mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini perlu dilakukan.
Cara mudah
untuk melakukan pemeriksaan pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan
bunyi-bunyian pada jarak 1 m di belakang anak :
- Bunyi pss – pss untuk menggambarkan suara frekwensi tinggi
- Bunyi uh – uh untuk menggambarkan frekwensi rendah
- Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekwensi 4000 Hz)
- Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekwensi 900 Hz )
- Suara remasan kertas (frekwensi 6000 Hz)
- Suara bel (frekwensi puncak 2000 Hz)
Saat
ini OAE (Otoacoustic emission) dan AABR (Automated Audiometry Brainstem
Response) merupakan tehnik pemeriksaan baku emas (gold standard)
dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dan sensitifitas
mendekati 100%.
Hal
yang penting untuk diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan ini adalah liang
telinga harus bersih dan tidak ada kelainan pada telinga tengah. Yang menjadi
kendala adalah bahwa sarana ini tidak dimiliki oleh semua Rumah Sakit Provinsi.
Pemeriksaan
lain yang tak kalah penting adalah BOA (Behavioral observation audiometry),
yaitu dengan melihat perilaku anak terhadap stimulus suara yang diberikan.
Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi mental,
kemauan melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik yang berhubungan dengan
perkembangan motorik dan persepsi. Diharapkan pada usia 3 bulan pemeriksaaan
sudah selesai dilakukan dan intervensi dapat dimulai pada usia 6 bulan.
Pemberian Alat Bantu Dengar membantu anak dalam proses habilitasi suara dan
belajar berbicara. Selanjutnya pada usia 1,5-2 tahun mulai dilatih di sarana
pendidikan (Taman Latihan Khusus). Sebagai pilihan lain di Jakarta sejak tahun
2002 sudah ada program implantasi koklea dengan persyaratan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar