Kamis, 14 Juni 2012

PRESBIKUSIS

Presbikusis adalah tuli sensorineural (saraf) pada usia lanjut akibat proses degenerasi (penuaan) organ pendengaran. Proses ini terjadi berangsur angsur, dan simetris ( terjadi pada kedua sisi telinga). Penyebab gangguan pendengaran pada presbikusis umumnya merupakan kombinasi dari beberapa hal sebagai berikut :
  1. Degenerasi elastisitas gendang telinga
  2. Degenerasi sel rambut di koklea.
  3. Degenerasi fleksibilitas dari membran basilar
  4.  Berkurangnya neuron pada jalur pendengaran
  5. Perubahan pada sistem pusat pendengaran dan batang otak
  6. Degenerasi jangka pendek dan auditory memory
  7. Menurunnya kecepatan proses pada pusat pendengaran di otak (central auditory cortex )
Selain itu pada orang lanjut usia juga terjadi perubahan lain pada organ telinga lainnya walaupun tidak berhubungan dengan presbikusis misalnya degenerasi otot-otot pada telinga tengah dan arthritis tulang-tulang di telinga tengah. Gejala atau perubahan yang dijumpai pada presbikusis secara umum dibedakan menjadi :
  1. Berkurangnya kemampuan mendengar
  2. Berkurangnya kemampuan mengerti percakapan
  3. Fisik dan emosional
Kemampuan mendengar penderita presbikusis akan berkurang secara berangsur, biasanya terjadi bersamaan pada kedua telinga. Telinga menjadi sakit bila lawan bicaranya memperkeras suara. Selain itu penderita presbikusis juga mengalami kesulitan dalam memahami percakapan terutama di lingkungan bising, hal ini disebabkan oleh berkurangnya kemampuan membedakan (diskriminasi) suku kata yang hampir mirip. Jika tidak dilakukan upaya rehabilitasi pendengaran misalnya dengan memasang alat bantu dengar maka kemampuan untuk memahami percakapan akan makin terganggu. Hal lain yang terjadi pada penderita presbikusis adalah masalah fisik dan emosional antara lain berupa :
  1. Terganggunya hubungan perorangan dengan keluarga
  2. Kompensasi tingkah laku akibat gangguan pendengaran :
  3. Pemarah dan mudah frustrasi
  4. Depresi, menarik diri dari lingkungan (introvert)
  5. Merasa kehilangan kontrol pada kehidupannya
  6. Waham curiga (paranoid)
  7. Self-criticism
  8. Berkurangnya aktivitas dengan kelompok sosial
  9. Berkurangnya stabilitas emosi.
Upaya rehabilitasi dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (ABD) yang sesuai dengan kebutuhan. Pemasangan alat bantu dengar bertujuan untuk memperkeras (amplifikasi) bunyi yang ada disekitar pengguna.
Kemajuan teknologi ABD saat ini memungkinkan pengguna ABD mendapatkan amplifikasi yang tepat. ABD dengan fasilitas multi channel dapat mengeraskan bunyi yang spesifik pada frekuensi yang mengalami gangguan saja. Selain itu teknologi multi mikrofon dan penyaring (filter) terhadap bising memungkinkan pemahaman percakapan yang lebih baik pada kondisi bising. Hal lain yang cukup penting adalah memilih jenis ABD yang cocok dengan tuntutan gaya hidup dan kemampuan fisik pemakainya. Walaupun telah menggunakan ABD adakalanya masih diperlukan bantuan membaca ujaran bibir (lip reading) namun masalahnya para penderita presbikusis umumnya juga mengalami gangguan penglihatan.
Untuk mengurangi angka kesakitan (morbiditas) presbikusis diperlukan usaha-usaha penanggulangan secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam mengupayakan usaha tersebut diperlukan kerjasama yang terpadu dari masyarakat itu sendiri, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Pemerintah dalam hal ini institusi kesehatan. Masyarakat melalui para kader perlu dilibatkan secara aktif dan inovatif terutama pada tingkat promotif. Lini kesehatan terdepan misalnya Puskesmas, Balai Kesehatan, dll memiliki peran yang besar baik di tingkat promotif, kuratif serta deteksi dini timbulnya komplikasi akibat presbikusis.
Kendala dalam penanggulangan presbikusis adalah masih terbatasnya rumah sakit yang memiliki fasilitas pemeriksaan pendengaran untuk kasus presbikusis. Demikian pula dengan fasilitas rehabilitasi belum tersebar secara merata di semua provinsi. Agar usaha penanggulangan dapat mencapai sasaran yaitu menurunnya morbiditas akibat presbikusis, maka diperlukan pengetahuan, pengenalan, dan pencegahan presbikusis oleh masyarakat bersama-sama kader dan tenaga kesehatan. Selain itu diperlukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan bagi tenaga kesehatan di lini terdepan untuk mendiagnosis presbikusis.

ALTERNATIF PENANGGULANGAN
Program akan berhasil apabila tersosialisasi dengan baik, sehingga setiap orang yang terkait dengan upaya penanggulangan presbikusis (masyarakat, pemerintah setempat, tenaga medis) dapat menjalankan perannya masing-masing setelah mengetahui masalah yang dihadapi serta tujuan yang hendak dicapai.
  1. Melakukan penyuluhan kepada kader, tokoh masyarakat serta masyarakat itu sendiri tentang presbikusis mengenai pengertian, gejala, penyebab, dan dampaknya.
  2. Advokasi pada pemerintah setempat (PEMDA) untuk memfasilitasi serta menyediakan anggaran untuk memperbaiki maupun melengkapi infrastruktur.
  3. Melakukan pendekatan kepada pengusaha serta organisasi swadaya masyarakat untuk saling bekerja sama dalam menanggulangi masalah yang dihadapi penderita kurang mampu.
  4. Melakukan analisis situasi, menetapkan tujuan serta evaluasi berkala.
  5. Menyelenggarakan pelatihan bagi petugas kesehatan dan kader untuk melakukan deteksi dini dan rujukan
  6. Meningkatkan upaya deteksi dan intervensi dini.

Tuli Kongenital

Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini.
Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup, sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh Dep. Kes di 7 Provinsi pada tahun 1994-1996 yaitu sebesar 0,1 %. Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesehatan 2005). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. Hal ini tentu saja berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan di masa mendatang.
WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara. Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli kongenital sebagai salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu saja memerlukan kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain tenaga kesehatan. Apakah yang dimaksud dengan tuli kongenital? Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.
Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat dengar, sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi ( amplifikasi ).
Tuli kongenital dibagi menjadi genetik herediter (ada faktor keturunan) dan non genetik. Untuk mencegah terjadinya tuli herediter sebaiknya hindarilah perkawinan antar keluarga / sedarah. Tuli kongenital dapat terjadi pada :

Masa kehamilan (PRENATAL)
Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya ketulian. Infeksi yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis), selain campak dan parotitis (gondong).
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina, gentamisin, streptomycin dll. mempunyai potensi menyebabkan terjadinya gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput (koklea). Gangguan struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan terjadinya ketulian antara lain aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk) dan atresia liang telinga.

Saat lahir ( PERINATAL )
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat badan lahir rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), hiperbilirubinemia (bayi kuning), asfiksia (lahir tidak langsung menangis), dan hipoksia otak (nilai Apgar < 5 pada 5 menit pertama.)
Menurut American Academy Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994) pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor berikut ini harus dicurigai, karena merupakan kemungkinan penyebab gangguan pendengaran: 
  1. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir
  2. Infeksi prenatal; TORSCH
  3. Kelainan anatomi pada kepala dan leher
  4. Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
  5. Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram )
  6. Meningitis bakterialis
  7. Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar
  8. Asfiksia berat
  9. Pemberian obat ototoksik
  10. Menggunakan alat bantu pernapasan/ ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU) 
Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli saraf ( sensorineural) derajat berat sampai sangat berat pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara keras atau belum/terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara dl lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata.
Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain :
  1. Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat refleks
  2. Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks auropalpebral maupun refleks Moro.
  3. Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat ke arah sumber suara.
  4. Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.
  5. Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk mencari sumber  bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat.
  6. Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu memperkirakan sumber suara.
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai apabila :
  1. Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi
  2. Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti
  3. Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
  4. Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini perlu dilakukan. Cara mudah untuk melakukan pemeriksaan pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan bunyi-bunyian pada jarak 1 m di belakang anak :
  1. Bunyi pss – pss untuk menggambarkan suara frekwensi tinggi
  2. Bunyi uh – uh untuk menggambarkan frekwensi rendah
  3. Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekwensi 4000 Hz)
  4. Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekwensi 900 Hz )
  5. Suara remasan kertas (frekwensi 6000 Hz)
  6. Suara bel (frekwensi puncak 2000 Hz)
Saat ini OAE (Otoacoustic emission) dan AABR (Automated Audiometry Brainstem Response) merupakan tehnik pemeriksaan baku emas (gold standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati 100%.
Hal yang penting untuk diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan ini adalah liang telinga harus bersih dan tidak ada kelainan pada telinga tengah. Yang menjadi kendala adalah bahwa sarana ini tidak dimiliki oleh semua Rumah Sakit Provinsi.
Pemeriksaan lain yang tak kalah penting adalah BOA (Behavioral observation audiometry), yaitu dengan melihat perilaku anak terhadap stimulus suara yang diberikan. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi mental, kemauan melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik yang berhubungan dengan perkembangan motorik dan persepsi. Diharapkan pada usia 3 bulan pemeriksaaan sudah selesai dilakukan dan intervensi dapat dimulai pada usia 6 bulan. Pemberian Alat Bantu Dengar membantu anak dalam proses habilitasi suara dan belajar berbicara. Selanjutnya pada usia 1,5-2 tahun mulai dilatih di sarana pendidikan (Taman Latihan Khusus). Sebagai pilihan lain di Jakarta sejak tahun 2002 sudah ada program implantasi koklea dengan persyaratan tertentu.