Apakah kloning dapat
dinilai mengusik atau upaya mengintervensi Kuasa Tuhan? Apakah
kloning merupakan ciptaan baru atau tidak? Jika kloning manusia berhasil, maka siapakah
manusia hasil kloning itu? Anak siapa dia? Siapa bertanggung jawab memeliharanya?
Lalu bagaimana hukum kloning, halal atau haram?
→Semua pertanyaan itu masih diperselisihkan
jawabannya.
Kalaupun ada jawaban yang hampir pasti, ia belum memuaskan semua pihak.
Salah satu yang hampir disepakati itu
keberhasilan mengklon, apapun bentuknya termasuk reproduksi manusia, sama
sekali gak bisa dinilai mengurangi kuasa Allah atau mengintervensi Tuhan,
apalagi menandingi-Nya. Manusia yang berhasil direproduksi itu tetap saja
menggunakan 'bahan-bahan mentah' yang telah diciptakan Tuhan sebelumnya.
Penemuan cara mengklon itu hanyalah keberhasilan manusia mengetahui
hukum-hukum Tuhan dalam reproduksi, yang kemudian dimanfaatkan dengan
menggunakan cara yang berbeda dengan cara yang selama ini dikenal. Dengan
demikian ia tidak menjadikan manusia tersebut sebagai Pencipta yang menandingi
atau mengintervensi Tuhan.
Di sisi lain, manusia yang melakukannya adalah atas izin Tuhan -- walau belum tentu atas restu (ridho)-Nya --, karena Tuhanlah yang menganugerahkan kepada manusia akal dan kemampuan mengembangkan ilmu sehingga mampu berhasil dalam upayanya itu.
Dari sini
bercabang diskusi para ulama: apakah
akal dan pengembangan kemampuan ilmiah memiliki batas-batas yang tidak boleh
dilampaui ataukah ada batas-batasnya? Kalau ada, apakah batas-batas tersebut?
Buku Al-Islam
wal-'Aql, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar
Mesir, Sheikh Abdul Halim
Mahmud,:
''Benar, Islam mendukung penelitian dan
pengembangan ilmu, tetapi pengembangan yang memiliki tujuan yang jelas
berkaitan dengan kemaslahatan manusia. Dalam Islam tidak ada istilah 'ilmu
untuk ilmu' atau 'seni untuk seni', tetapi Iqra bismi Rabbika yang
bermakna ilmu haruslah demi karena Allah, yakni demi kemaslahatan makhluk.'' Selanjutnya,
ia juga menyitir doa Nabi Muhammad SAW: ''Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari ilmu yang tidak bermanfaat.''
Pemimpin Majelis Tinggi Syiah di Lebanon,
Muhammad Mahdi Syamsuddin, dalam buku Al-Istinsakh Baina al-Islam wa
Al-Masihiyah
''Berapa banyak manusia yang memiliki
kemampuan ekonomi untuk menarik manfaat dari hasil penemuan itu. Katakanlah
ratusan atau ribuan sedang kemanusiaan seluruhnya membayar harga kemajuan itu
dengan kehormatannya, rezekinya, lingkungan dan kehidupannya,'‘ Ia kemudian
menyimpulkan, kloning adalah haram
untuk diterapkan pada binatang dan penerapannya pada manusia adalah haram qat'an wa yaqinan, keharaman yang pasti
dan sangat meyakinkan. Sejumlah ulama
bahkan masih mempertanyakan kegunaan sebagian penemuan ilmiah yang digunakan
untuk tujuan kedokteran
Pemimpin tertinggi Al-Azhar Sheikh
Muhammad Thanthawi dan ulama Syiah pendiri Pusat Studi dan Riset
Al-'Itrah Beirut Sheikh Muhammad Jamil Hammud Al-'Amily
“ Dalam upaya mereproduksi
manusia terdapat pelecehan terhadap kehormatan manusia yang mestinya dijunjung
tinggi -- hidup atau mati --, bahkan walaupun tulang-tulangnya yang telah
berserakan. Upaya itu mengarah kepada goncangnya sistem kekeluargaan serta
penghinaan dan pembatasan peranan perempuan. Ia bukan saja memutuskan
silaturahim tetapi juga mengikis habis cinta. Ia adalah mengubah ciptaan Allah
dan bertentangan dengan Sunatullah. Itu adalah pengaruh setan bahkan upayanya
menguasai dunia dan manusia.”
Sheikh
Muhammad Ali al-Juzu (Mufti Lebanon yang
beraliran Sunni)
“Kalaupun kloning telah berhasil diterapkan pada binatang, tetapi ''tidak
ada keharusan menerapkannya pada manusia karena bahayanya sangat banyak. Yang
terpenting adalah akan banyak orang-orang yang lemah akidahnya yang berlutut,
jatuh menyerah di hadapan eksperimen-eksperimen ini dan bahwa kehidupan bukan
lagi rahasia yang hanya diketahui Allah Sang Pencipta.''
''Keberhasilan kloning manusia akan
mengakibatkan sendi kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur, karena manusia yang lahir melalui
proses kloning tidak dikenal siapa ibu dan bapaknya, atau dia adalah
percampuran antara dua wanita atau lebih sehingga tidak diketahui siapa ibunya
dan dalam saat yang keberadaan bapak sangat dibutuhkan. Selanjutnya kalau itu
berulang dan berulang, maka bagaimana kita dapat membedakan seseorang dari yang
lain yang juga mengambil bentuk dan rupa yang sama?''
Mantan
Mufti Mesir Sheikh Farid Washil
Walaupun dapat membenarkan kloning untuk tujuan penyediaan organ tubuh
bagi yang membutuhkannya, tetapi menegaskan kloning dengan tujuan pengobatan
kemandulan tidaklah dibenarkan. Ia juga menolak kloning reproduksi manusia
karena dinilainya bertentangan dengan empat dari lima Maqashid asy-Syar'iah:
pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan agama.
Yang melarang kloning -- apalagi yang berkaitan dengan manusia --
memiliki beberapa alasan:
-Baik karena kekuatiran mereka terhadap dampak buruk dari hasil penemuan
ilmiah, atau
-Adanya prioritas lain yang lebih utama, atau karena kaedah ''Menampik
keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan manfaat''.
-Adanya kelompok manusia yang menggunakan hasil penemuan ilmuwan justru
untuk kepentingan terbatas, sehingga menyengsarakan umat manusia
-Larangan itu dikuatkan lagi dengan ungkapan yang menyatakan ''Kloning
dapat membuktikan manusia adalah materi tidak ada unsur spiritualnya'' atau
''Dengan kloning manusia dapat hidup kekal''.
Tetapi ada juga ulama yang optimis dan
memberi peluang sehingga tidak menggugurkan upaya mengklon itu bagaikan
menggugurkan janin yang sedang dikandung. Mereka itu memberi peluang hidup bagi
janin, namun bila nanti ternyata membahayakan barulah dijatuhi hukuman mati.
Hakim Agung Mahkamah Tinggi al-Ja'fariyah
Lebanon, Sayyid Muhammad Hasan Al-Amin,
(1999):
''Kalau kita berandai kloning diterapkan pada
manusia, maka menurut hemat saya ia merupakan suatu keberhasilan yang besar dan
agung untuk kemaslahatan manusia. Pandangan agama secara umum dalam hal ini
sejalan dengan pandangan agama terhadap semua keberhasilan ilmiah yang besar
dan yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Kita harus membedakan
sisi moral, sosial, dan kemanusiaan dengan pandangan agama menyangkut teori
ilmiah tentang kloning.''
''Agama tidak mungkin mengharamkan atau melarang ditemukannya satu teori ilmiah baru yang dapat mengantar kepada pengungkapan rahasia dari sekian banyak rahasia kehidupan, manusia, dan alam raya. Sebaliknya pun demikian. Karena, agama mengundang manusia untuk berpikir, mengamati, menganalisis, dan mengambil kesimpulan.''
''Agama tidak mungkin mengharamkan atau melarang ditemukannya satu teori ilmiah baru yang dapat mengantar kepada pengungkapan rahasia dari sekian banyak rahasia kehidupan, manusia, dan alam raya. Sebaliknya pun demikian. Karena, agama mengundang manusia untuk berpikir, mengamati, menganalisis, dan mengambil kesimpulan.''
Setiap
ide ilmiah yang dikemukakan tidak keluar dari tiga katagori Syekh Muhammad Taufiq Miqdad :
-Pertama, ia berkaitan dengan sesuatu yang telah pasti diharamkan agama,
-Kedua, ia berkaitan dengan sesuatu yang jelas didukung oleh agama dan juga pertimbangan
akal,
-Ketiga, suatu ide ilmiah yang belum terbukti hasil dan dampaknya baik positif
maupun negatif. Ide semacam ini baru dalam proses pembentukan atau tahap awal.
Kita belum dapat memperoleh gambaran jelas dan utuh yang dapat menyingkirkan
segala ketidakjelasan yang berkaitan dengannya. Ide semacam ini, tidak dapat
ditetapkan atasnya hukum haram atau halal secara pasti, karena ia baru
berbentuk ide atau baru dalam bentuk kekuatiran adanya sisi mudharat dan
negatif yang juga baru dalam benak dan teori. Menetapkah hukum -- baik halal
maupun haram -- menyangkut hal semacam ini adalah ketergesa-gesaan yang bukan
pada tempatnya dan tidak sejalan dengan tuntunan akal dalam berpikir atau
menarik kesimpulan. seperti eutanasia.
Ini jelas ditolak oleh agama karena berkaitan langsung dengan kehidupan manusia
yang merupakan anugerah Ilahi tanpa sedikit campur tangan manusia. seperti penciptaan aneka obat untuk penyembuhan
manusia. ini termasuk bagian dari kebutuhan pokok manusia. Islam mendukung
setiap usaha ke arah sana, dan menilainya sebagai sesuatu yang amat terpuji.
-Ide tentang kloning yang dibicarakan dewasa ini adalah salah satu
contoh dari bagian ketiga di atas. Kita tidak memiliki alasan untuk menghukum mati secara mutlak dan
tidak juga memberinya kebebasan hidup secara mutlak. Kita hendaknya memberi
ide ini peluang dalam bidang ilmiah yang luas sampai menjadi jelas ciri dan
dampak-dampaknya dari segala sisi, kemudian setelah itu kita menetapkan
hukumnya sesuai dengan hasil penerapannya dan dampak-dampak yang dihasilkannya.
-Pendapat di atas -- yang juga dianut tidak sedikit ulama -- menilai
penelitian ilmiah dalam bidang kloning merupakan mubah dan tidak perlu
tergesa-gesa melarang atau mengharamkannya. Sheikh Muhammad Miqdad menegaskan:
''Apabila ternyata kloning reproduksi manusia menghasilkan manusia yang hanya
serupa dengan manusia yang lahir normal, tetapi tidak memiliki sifat-sifat
sebagaimana manusia normal baik fisik maupun mental, atau dia tidak mampu
melaksanakan fungsi-fungsi yang dilaksanakan fungsi-fungsi manusia biasa, atau
terbukti bahwa dia akan menjadi manusia yang buruk perangainya --- luput dari
semua sisi positif manusia, maka ketika itu kita baru dapat berkata bahwa ia
haram secara pasti.''
Sheikh Muhammad Miqdad:
''Islam sebagai agama yang realistis dan melindungi serta mendorong
perkembangan ilmu pengetahuan memandang kepada persoalan semacam ini sesuai
dengan dampak dan hasil-hasilnya yang positif dan negatif. Kalau sisi
positifnya lebih banyak, maka ia dapat dibenarkan dan kalau sebaliknya maka ia
terlarang berdasar kaedah yang ditegaskan oleh firman Allah (QS. 2: 219), 'Dosa keduanya (minuman keras dan perjudian) lebih besar
daripada manfaatnya'.''
Tegasnya, Adapun binatang
dan tumbuh-tumbuhan, maka Islam secara jelas membolehkannya, lebih-lebih kalau
tujuannya untuk meningkatkan mutu pangan dan kualitas daging yang dimakan
manusia.
Kloning reproduksi manusia. → terbaca perbedaan pendapat ulama.
Mayoritas ulama tidak
membenarkan kloning reproduksi manusia, tetapi dapat membenarkan kloning yang
bertujuan terapi.
Cara Kloning
- Cara pertama, kloning dilakukan dengan mengambil inti sel wanita lain (pendonor sel
telur)" yang kemudian ditanamkan ke dalam ovum wanita kandidat yang nukleusnya telah
dikosongkan.
- Cara kedua, kloning dilakukan dengan menggunakan inti sel "wanita kandidat" itu sendiri, dari
sel telur milik sendiri bukan dari pendonor.
- Cara ketiga, kloning dilakukan dengan menanamkan inti sel laki-laki ke dalam ovum wanita yang telah dikosongkan
nukleusnya. Laki-laki tersebut bisa pria lain, bisa juga suami si wanita.
- Cara keempat, kloning
dilakukan dengan cara pembuahan (fertilization) ovum oleh sperma (dengan tanpa
hubungan sex) yang dengan proses tertentu bisa menghasilkan embrio-embrio
kembar yang banyak.
Pada kasus
dua cara pertama, pendapat yang dikemukakan adalah haram, dilarang melakukan kloning yang semacam itu dengan dasar
analogi (qiyas) kepada haramnya lesbian dan timbulnya kerancuan pada nasab atau
sistem keturunan, padahal melindungi keturunan ini termasuk salah satu
kewajiban agama. Di lain pihak juga akan menghancurkan sistem keluarga yang
merupakan salah ajaran agama Islam.
Pada cara ketiga dan keempat, kloning
haram dilakukan jika sel atau sperma yang dipakai milik lelaki lain (bukan
suami). Jika sel atau sperma yang dipakai milik suami sendiri maka hukumnya
belum bisa ditentukan (tawaquf), melihat dulu maslahat dan bahayanya dalam
kehidupan sosial. Untuk menentukan hukum pastinya harus didiskusikan dahulu
dengan melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu. Jika hasilnya bisa membikin kacau tatanan
masyarakat (karena banyak orang kembar, sehingga jika ada tindak kriminal atau
kasus hukum lainnya susah diidentifikasi, dan mungkin efek-efek lain) maka
hukumnya tidak boleh, haram. Cara mengatasinya dengan melihat maslahah dan
madharatnya.
Kloning terhadap manusia yang harus
diwaspadai bila menimbulkan mafsadat
(dampak negatif) antara lain :
- Menghilangkan nasab anak hasil
kloning yang berakibat hilangnya banyak hak anak dan terabaikan-nya sejumlah hukum yang timbul
dari nasab.
- Institusi perkawinan yang telah
disyari'atkan sebagai media berketurunan secara sah menjadi tidak diperlukan
lagi, karena proses reproduksi dapat dilakukan tanpa melakukan hubungan
seksual.
- Lembaga keluarga (yang dibangun
melalui perkawinan) akan menjadi hancur, dan pada gilirannya akan terjadi pula
kehancuran moral (akhlak), budaya,
hukum, dan syari'ah Islam lainnya.
- Tidak akan ada lagi rasa saling
mencintai dan saling memerlukan antara laki-laki dan perempuan.
- Hilangnya maqashid syari'ah dari
perkawinan, baik maqashid awwaliyah (utama) maupun maqashid tabi'ah (sekunder).
Sumber : PSKI (Pusat Studi Kedokteran Islam) FK UMY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar